CERPEN : Aku, Kamu, dan Hujan
Awan mendung
seolah menyapaku dengan wajahnya yang selalu kelabu sore itu. Aku terhening
sejenak sambil menatapnya. Sapuan angin lembut menyentuh tubuhku yang tak
tehalang oleh kain yang ku kenakan sore itu. Dingin, dingin, dan dingin. Itulah
yang ku rasakan saat itu. Hatiku pun tak mampu berbohong untuk menutupi
senyuman palsu yang ku hadirkan selama ini. Setiap manusia memang diciptakan
dengan hati yang berbeda.
Setahun yang lalu, di koridor
sekolah dan hanya ada aku, kamu, dan hujan. Tatapannya sangat kosong, wajahnya
yang pucat pasi seolah menggambarkan suasana hatinya saat itu. Aku pun tak
henti – hentinya menerka apakah yang sedang terjadi dengan dirinya. Tuhan,
tolong jagalah hatinya untukku di sana, malaikat penjaga aku juga minta tolong
damaikan hatinya untukku di sana, dan yang terakhir hujan, aku minta tolong
hapuskan segala gundah yang ada di hatinnya dan tolong suruh pelangi untuk
melukiskan senyuman di bibirnya kapanpun dan dimanapun dia berada sekarang.
Titik air hujan terus berjatuhan,
waktupun terus berputar seirama dengan logikaku yang tak berhenti bertanya –
tanya akan gambaran dirinya sore ini. Dia selalu memalingkan mukanya seolah tak
ingin orang lain di sampingnya tau. Apakah dia marah dengan hujan? Atau sebaliknya
dia marah kepadaku? Aku hanya bisa bertanya – tanya. Apakah dia tak sadar bahwa
ada orang di sampingnya yang sedari tadi mencoba mengartikan setiap ukiran
suasana yang ada di hatinya.
Waktu yang aku tunggu akhirnya
hadir, dia memalingkan mukanya kepadaku dengan tatapan matannya yang sayu
dengan lengkung bibirnya yang jatuh ke bawah.
“ put....”, kata yang pertama keluar
dari bibirnya.
“ ada apa? Kamu kenapa? Dari tadi
aku memperhatikanmu, sepertinya ada yang salah dari dirimu”, ku coba membalas
sapaan pertamanya.
“ aku sangat sedih, aku gundah, aku
tak tenang put “, ungkapnya dengan ekspresi yang terpasang di wajahnya sejak
tadi.
“ iya kamu kenapa ? bicaralah
padaku, memangnya dari tadi aku kamu anggap apa? Patung?” , ungkapku dengan
raut muka penuh tanda tanya.
“ putttttt... jemuranku di rumah
belum aku angkat, padahal hari ini aku mencuci baju lumayan banyak, aku sedih
putt”, tetes air matanya mulai berlinang.
Mendengar jawabannya seperti itu,
seketika aku sempat terkejut dan sangat tak menyangka, hanya karena jemuran
setitik merusak mood sebelangga.
Mungkin jemuran baginya sangat berarti saat ini di tambah dengan sekarang sedang
musim hujan yang membuat matahari menunda untuk menyapa setiap manusia di bumi
ini,terutama jemuran – jemuran yang sengaja di gantung untuk di keringkan.
Kemudian aku sesegera mengajaknya
untuk bergegas pulang, ku kebut motorku dan sialnya lagi aku tak membawa jas
hujan. Akhirnya ku terobos butiran hujan yang bertubi – tubi menyerang kami.
Hampir saja ku tabrak seekor bebek yang dengan santainya menyebrang jalan. Kami tersontak kaget dan senyuman itu terukir di bibirnya,
tawa lepas tak terhindarkan meskipun pelangi belum muncul untuk kutugaskan
mengukirkan senyumannya, dan terima kasih hujan telah bertugas dengan baik untuk
menghapus gundah di hatinya.
Tapi ini hanya distorsi waktu
semata, semua itu kini tersimpan indah di hatiku, setahun telah berlalu
setidaknya aku pernah mengukir senyum di wajahmu meski dengan bantuan hujan.
Mungkin momen itu yang akan selalu ku ingat. Kita sekarang bebeda dimensi.
Semoga kamu tetap tersenyum di sana dan sampaikan senyummu lewat hujan yang
turun sore ini.
Ooowwwww cocwittttt :3
ReplyDeletejangan nangis yakk :D
DeleteMamamamamamamamama
ReplyDeletepapapapapapa
DeleteMumumumumumumumu
ReplyDelete