Story Telling & Story Boarding - Pengembangan Ide Cerita

Kebaikan Pasti Dibalas dengan Kebaikan

          Pada suatu subuh aku hendak berangkat kerja, kalau bukan perintah dari atasan mending aku tidur saja di rumah. Sebenarnya hari ini bukan shift ku untuk masuk kerja. Tapi tak apalah memang begini adanya, kalau atasan yang menyuruh aku bisa berbuat apa. Dengan mata mengantuk aku mengendarai motorku dengan pelan sambil menahan dinginnya angin pagi. Bagaimana tidak sekarang masih pukul 5.30 pagi. Namun, di tengah perjalan tiba – tiba “Brakkk” , aku tersontak dengan suara benturan itu. Kutoleh kebelakang dan ternyata seorang anak laki – laki terserempet oleh pengendara motor yang ugal – ugalan. Kuhentikan motorku dan ku pinggirkan di sisi  jalan.
           Anak itu berumur sekitar 12 tahun dia memakai kaos oblong biru dan celana pendek dengan membawa kantong plastik berwarna hitam. Aku tak tega melihatnya, wajahnya berlumuran darah dan dia lemas hampir pingsan tersungkur di pinggiran jalan. Pengendara sialan itu tak tau diri dan langsung kabur meninggalkannnya. Aku dilema berat, apakah aku harus menolong anak ini sedangkan atasan sudah menungguku di kantor. Ah, sudahlah lebih baik aku tolong anak ini, aku sungguh tak tega melihatnya.
            Ku seka darahnya yang mengalir dengan sapu tangan yang aku ambil di saku celanaku, anak ini sedikit merintih kesakitan ketika aku menyeka darahnya. Aku memberanikan diri untuk menanyainya. Tapi dia semakin merintih kesakitan tanpa menjawab pertanyaanku. Melihat hal itu aku langsung membawanya ke rumah sakit dengan seorang warga yang kebetulan melintas.
       
Rintihan kesakitan anak itu semakin kencang ku dengar, kupacu sepeda motorku dengan kencang. Untungnya rumah sakit tak jauh dari tempat kejadian. Sesampainya di sana aku langsung bergegas memanggil petugas kesehatan. Anak itupun segera mendapatkan pertolongan medis. Kulihat arloji di tanganku sudah menunjukan pukul 8.00, tak terasa telepon genggamku berbunyi berkali – kali dan ke hiraukan begitu saja, 21 panggilan tak terjawab dari atasanku. Ingin segera aku bergegas menuju tempat kerja tapi aku tak tega meninggalkan anak itu sendirian.
            Aku menunggu di ruang tunggu, tiba – tiba ada seorang petugas rumah sakit berpakaian putih – putih selayaknya seorang perawat datang menghampiriku dengan membawa struk pembayaran rumah sakit. Aku melihat struk pembayaran itu, kemudian kubuka dompetku dan ternyata uangku hanya cukup untuk membayari biaya rumah sakit anak itu. Tapi melihat anak itu, aku mengikhlaskan untuk menolongnya, meskipun uang ini adalah bakal tabungan yang kau kirimkan ke ibuku obat di kampung.
            Teleponku kembali beredering, aku memberanikan diri untuk mengangkatnya. Sudah kuduga, belum sempat aku berbicara atasanku menyemprotku dengan cacian yang terasa panas di kupingku. Aku mencoba menjelaskan kejadian yang membuatku urung untuk berangkat ke tempat kerja, tapi atasanku tak mau tau dengan semua alasan yang aku lontarkan. Dan titik terburuk pembicaraanku dengan atasanku adalah sebuah kalimat pemecatan darinya. Hatiku teriris, cobaan apalagi ini yaAllah.
            Kulihat seorang dokter keluar ari sebuah ruangan yang merawat anak yang aku tolong tadi. Bergegas aku mengejarnya dan menanyakan keadaan anak itu. Dokter menjawab dengan tenang dan menerangkan bahwa anak itu tidak apa – apa, hanya sedikit jaitan di kepalanya akibat benturan tadi dan anak itu bisa langsung dibawa pulang. Hatiku sangat lega mendengarnya. Kemudian aku menuju ke tempat kasir untuk menyelesaikan administrasi rumah sakit.
            Setelah menyelesaikan segala administrasi, aku menuju kamar anak itu dan rencanannya aku akan mengantar anak itu pulang ke rumah orang tuanya. Di dalam kamar aku menanyainya,
            “ Adek ini namanya siapa?” aku bertanya kepadanya.
            “ Saya Adi om.”, dia menjawab dengan muka agak takut.
            Aku kembali melontarkan beberapa pertanyaan kepadanya, “ rumah kamu di mana Adi?”
            Dia menjawab kembali, “ Rumah saya dekat dari sini om, tapi sekarang saya harus mengantarkan uang ini ke ibu saya untuk uang kembalian jualannya.”
            “Ibu kamu jualan apa?”, aku bertanya dengan halus sambil mengelus rambutnya.
            “Ibu saya jualan ikan di pasar om, saya hanya tinggal berdua dengan ibu saya, ayah saya sudah meninggal ketika saya masih kecil, dan saya sekarang tidak sekolah karena tidak punya biaya, om tapi kenapa saya di bawa ke rumah sakit? saya tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit ini” , Adi menjawab dengan menundukkan kepalanya dengan muka muram sambil menahan sakit dan sedih.
            “Sudah kamu tenang saja, semua biaya sudah om bayar kok, sekarang kamu om antar pulang atau ke pasar untuk menemui ibu kamu?”, aku mencoba menenangkan hatinya sambil membayangkan nasib anak ini yang hampir mirip dengan kisah hidupku.
            Setelah berbincang sedikit dengan anak itu, aku segera bergegas mengantar pulang tapi dia memintaku untuk mengantarnya ke pasar untuk menemui ibunya. Di tengah perjalanan dia tiba – tiba berteriak, “Ibu.... om itu ibu saya om, sudah disini saja saya turun.” Aku langsung menghentikan motorku dan memarkirkan motorku di pinggir jalan. Kemudian aku mengantarkan anak itu ke sebrang jalan untuk menemui ibunya. Aku melihat ibunya membawa sekeranjang ikan yang sepertinya dia ambil dari pengepul yang kemudian akan di jualanya lagi.
            Anak itu berlari dan langsung memeluk ibunya sambil menanggil. Ibunya pun terkejut dan langsung bertanya kepadaku, “ anak saya kenapa pak? Kok bisa kepalanya sampai di perban? Kamu kemana saja adi? Ibu sudah menunggumu dari tadi.”
            Aku mencoba menjawabnya dengan tenang,” Anak ibu tadi terserempet sepeda motor dan kepalanya membentur trotoar, untuk tidak parah hanya tergores sedikit.”
            “Terimakasih ya pak, atas pertolongan bapak kalau tidak ada bapak saya tidak tau nasib anak saya nanti bagaimana”, wanita paruh baya itu enjawabnya dengan muka memelas.
            “ Yasudah buk, saya pamit dulu, Adi kamu yang hati – hati ya kalau di jalan.”, kemudian aku bergegas menghampiri motorku yang aku parkir di pinggir jalan. Kemudian aku teringat dengan omongan atasanku yang memecatku tadi pagi dengan emosi. Sekarang aku pengangguran dan tak punya pekerjaan lagi, aku tak tau harus mengirimi ibuku di kampung dengan uang apa. Aku memandang langit dengan mata nanar, membayangkan ibuku di kampung. Aku sangat putus asa, di tempat perantauan ini aku hanya sendiri dan tak tau harus melakukan apa. Tapi aku teringat akan omongan ibuku, “ Nak meskipun kamu di dzolimi oleh orang lain, dan kamu merasa telah melakukan hal yang benar, yasudah lupakan saja, sudah ada yang membalas di atas.”

            Tiba – tiba teleponku berdering, dan kulihat ternyata yang telepon adalah atasanku. Dia berbicara bahwa dia memberiku kesempatan kedua untuk bekerja lagi dengannya. Mendengar hal itu aku sangat senang dan aku langsung sujud syukur bahagia.

Comments

Popular posts from this blog

Prak 1 - Mengenal Tampilan Adobe Flash Professional

Prak 02 – Camera Path, Lighting, and Material

Prak 3 – Memperhalus Walk Cycle menggunakan Konsep Arcs